Daftar Isi
SANTRI.POSJOS.COM – Mengenal Kitab Fathul Muin: Kitab Fikih Islam Populer – Fathul Muin, sebuah cahaya keislaman dari abad ke-14 Masehi, tercipta atas tangan ulama terkemuka, Syaikh Zainuddin Abdul Aziz bin Abdul Salam al-Malibari al-Madani. Kitab ini bukan sekadar literatur klasik; ia menjadi pilar penting bagi pemahaman agama dan hukum Islam di seluruh dunia Muslim.
Memahami Ketentuan Sholat dan Lebih dari Itu
Fathul Muin bukan hanya sekadar panduan ibadah, melainkan ladang luas yang mencakup kehidupan Muslim. Mulai dari aqidah hingga muamalah, kitab ini merinci tata cara, etika, dan hukum Islam. Keunggulan Fathul Muin terletak pada bahasannya yang mendalam, menyatukan teori dan praktik untuk memberikan pemahaman yang akurat berdasarkan dalil syariat yang sahih.
Merambah Masalah Sosial dan Penerapan Sehari-hari
Kitab ini tidak hanya memaparkan doktrin teologis, tetapi juga memerhatikan realitas sosial pada masanya. Syaikh Zainuddin memberikan perhatian khusus pada pernikahan, warisan, perdagangan, dan hukum pidana, memberikan panduan praktis untuk menghadapi tantangan umat Islam.
Dengan Fathul Muin, kita tidak hanya memahami ketentuan sholat, tetapi juga menyelami kekayaan fikih Islam yang menjadi pilar kehidupan sehari-hari umat Muslim. Sumber-sumber kami mencakup berbagai referensi untuk memastikan informasi yang disajikan akurat dan terpercaya.
Mengenal Kitab Fathul Muin
Mengutp dari laman immimpangkep, Fathul Muin adalah salah satu kitab fikih yang diakrabi di Pondok Pesantren. Kitab karya Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari ini, menandai satu fase dalam perjalanan memahami studi fikih di kalangan santri, disebut-sebut sebagai salah satu kitab standar bagi santri yang ingin mempelajari kitab klasik Madzhab Syafi’i dan merupakan syarah (komentar) dari kitab Qurrotul ‘Ain.
Dari segi penulisannya, kitab fathul muin memiliki keunikan tersendiri daripada kitab fikih lainnya, yaitu ditulis dengan pembahasan awal Bab Shalat. Hal ini sangat berbeda sekali dengan kitab-kitab fikih pada umumnya, yang memulai dengan Bab Thaharah (Bersuci). Dalam kitab fikih lain disebutkan syarat sholat hanya ada lima, yaitu menghadap kiblat, suci badan, pakaian dan tempat najis, suci dari hadats kecil dan besar, masuk waktu sholat dan menutup aurat.
Tapi dalam Kitab Fathul Muin ketika menjelaskan satu persatu, masih mampir-mampir ke pembahasan lainnya. Semisal syarat sholat harus suci dari hadats kecil, tentunya pembahasan ini masih berkaitan dengan bab wudhu’, maka pada bab pembahasan itu pula diterangkan wudhu beserta perinciannya. Seperti tata cara, kesunahan, hal-hal yang membatalkan hingga kasus-kasus yang menjadi topik menarik dan penting dari bab wudhu itu sendiri.
Dalam Kitab Fathul Muin ada beberapa “tanda”, semacam terminal pembahasan, yang disebut:
A. Far’un, yaitu permasalahan cabang. Jadi ketika kita membahas tentang bab najis misalnya, Syekh Zainuddin akan membahas kasus tertentu yang biasa terjadi di masyarakat pada umumnya.
B. Tanbihun (peringatan) dan Faidah (manfaat), dimana Syekh Zainuddin sudah mengantisipasi pembahasan yang mesti diberikan catatan khusus
C. Qoidah, yaitu selipan aplikasi kaidah fikih yang memudahkan mempelajari ilmu fikih.
Contohnya:
أّنَّ مَا اَصَلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ الظَّنُّ تَنَجُّسَّهُ لَغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِي مِثِلَهَ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَي الْاَصْلِ وَالظَّاهِرِ اَوِ الْغَالِبِ اَرَجَحُهُمَا اَنَّهٌ طَاهِرٌ
Artinya : Sesungguhnya asal dari sesuatu itu apabila suci dan kemungkinan besar kemudian terdapat sesuatu yang menajiskannya, maka terdapat dua qoul yang masyhur: mengkuti hukum asal (suci) dan hukum kaprahnya (najis). Yang paling unggul dari dua pendapat tersebut adalah suci.
Teks kitab diatas merupakan implementasi dari kaidah fikih :
اَلْاَصْلَ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Artinya : Hukum asal adalah tetapnya sesuatu atas keadaan sebelumnya.
Terjemah Kitab Fathul Muin pada Bab Shalat
Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan Ucapan dan perbuatan tersebut dinamakan “Salat”, karena salat menurut bahasa adalah doa. Salat-salat yang fardu ain itu lima kali dalam satu hari-satu malam, yang sudah diketahui dengan pasti dari agama. Oleh karena itu, kafirlah bagi orang yang menentangnya.
Salat fardu yang lima ini diwajibkan pada malam Isra, 27 Rajab, yaitu 10 tahun lebih 3 bulan terhitung sejak Nabi . Muhammad diangkat menjadi seorang Nabi. Salat Subuh pada tanggal 27 Rajab tersebut belum diwajibkan, karena belum diketahui cara-cara mengerjakannya. Salat Maktubah yaitu lima waktu, yang hanya wajib dikerjakan oleh setiap Muslim yang mukalaf, yaitu yang telah balig, berakal sehat, laki-laki atau selainnya, dan yang suci.
Orang Muslim mukalaf yang suci, apabila dengan sengaja menunda salat fardu hingga melewati waktu penjamakannya, malas mengerjakan namun masih berkeyakinan bahwa salat itu hukumnya wajib, lantas dia disuruh bertobat tapi tidak mau, maka wajib ditetapkan had atasnya yaitu dengan memancung leher. Jika salat tertinggal sebab ada halangan, misalnya tertidur atau lupa yang tidak karena lalim (main-main), maka dia sunah dengan segera menqadhanya.
Jika tertinggal salatnya karena uzur, maka dalam menqadhanya disunahkan mengerjakan salat secara tertib, yaitu mengerjakan salat Subuh sebelum Zhuhur, dan seterusnya. Sunah mendahulukan salat kadha sebelum salat Ada’ (tunai), jika tidak khawatir kehabisan waktu salat.
Rukun-rukun Salat
Disebut juga dengan fardu-fardu salat. Dengan menghitung masing-masing thuma’ninah sebagai satu rukun tersendiri, maka jumlah rukun salat ada empat belas.
Niat (Intention)
Niat merupakan rukun pertama dalam salat dan harus dilakukan sebelum memulai salat. Niat ini berbeda-beda tergantung pada jenis salat yang akan dilakukan, seperti salat fardhu, salat sunnah, atau salat jenazah. Niat haruslah khusus dan dilakukan di dalam hati tanpa pengucapan kata-kata.
Berdiri (Qiyam)
Rukun kedua adalah berdiri tegak dalam posisi yang benar dan stabil. Saat berdiri, posisi kaki sebaiknya sejajar, telapak kaki rapat di lantai, dan pandangan mata menghadap ke tempat sujud. Selama berdiri, sebaiknya menjaga konsentrasi dan ketenangan.
Takbiratul Ihram
Rukun ketiga adalah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan mengucapkan takbiratul ihram. Takbiratul ihram merupakan takbir pembuka yang menandakan memulainya salat. Dalam takbiratul ihram, diucapkan kalimat “Allahu Akbar” yang berarti “Allah Maha Besar”.
Membaca Al-Fatihah
Rukun keempat adalah membaca Surah Al-Fatihah setelah takbiratul ihram. Al-Fatihah merupakan surah pembuka dalam Al-Quran dan merupakan bagian penting dari salat. Surah ini harus dibaca dalam setiap rakaat salat, baik salat fardhu maupun sunnah. Membaca Al-Fatihah dilakukan dalam posisi berdiri setelah takbiratul ihram.
Rukuk
Rukun kelima adalah melakukan rukuk setelah membaca Al-Fatihah. Rukuk dilakukan dengan membungkukkan badan dari pinggang ke depan, sambil meletakkan kedua tangan di atas lutut. Pada posisi rukuk, tulang belakang sebaiknya lurus dan sejajar dengan lantai. Selama rukuk, membaca dzikir seperti “Subhanallah” (Maha Suci Allah) beberapa kali.
I’tidal
Rukun keenam adalah bangkit dari rukuk, kembali ke posisi berdiri tegak dengan tenang dan stabil. Saat melakukan i’tidal, mengucapkan kalimat “Sami’allahu liman hamidah” yang berarti “Allah mendengar orang yang memuji-Nya”. Kemudian, umat Muslim menjawab dengan mengucapkan “Rabbana wa lakal hamd” yang berarti “Ya Allah, segala puji bagi-Mu”.