Daftar Isi
SANTRI.POSJOS.COM – Awal Puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, NU bisa beda dengan Pemerintah! – Dalam beberapa dekade terakhir, mungkin orang lebih banyak melihat NU sejalan dengan pemerintah dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Kecuali dalam kasus orang per orang kiai NU, secara organisasi NU selalu sejalan dengan pemerintah. Penjelasan tidak seriusnya tentu, “karena menteri agama orang NU, ya nggak mungkin NU beda dengan pemerintah.”
Sejarah Keselarasan NU dengan Pemerintah
Secara serius, tidak demikian kenyataannya di masa lalu. Keselarasan NU dengan pemerintah ini hanya bila pemerintah (Kementerian Agama) menggunakan ru’yah hilal sebagai dasar penetapan awal Ramadhan.
Sikap NU terdokumentasikan pada beberapa keputusan Bahtsul Masail yang dibuat terkait hisab dan ru’yah. Keputusan pertama yang muncul dibuat pada tahun 1954 menyikapi tindakan beberapa orang/organisasi yang mengumumkan awal Ramadan tanpa menunggu keputusan pemerintah.
Sikap NU dalam Penetapan Awal Ramadan
Tahun itu tampaknya pemerintah menggunakan dan menunggu hasil ru’yah, sementara ada kelompok yang menggunakan Hisab dan sudah membuat pengumuman sebelum pemerintah.
Sikap NU jelas: tindakan kelompok itu tidak dapat dibenarkan, wajib ikut pemerintah, dan berharap agar pemerintah melarangnya.
Hanya saja, dalam keputusan awal itu, belum tampak apakah penolakan itu karena faktor hisab atau faktor “beda” dengan pemerintah yang sebenarnya menjadi alasan keberatan NU.
Penegasan Pilihan pada Ru’yah
Baru pada muktamar selanjutnya, di Munas Ulama Situbondo (1983), NU menegaskan pilihannya pada ru’yah. Sehingga jika pemerintah menggunakan hisab, maka pemerintah pun tidak wajib diikuti.
Kutipan Putusan Bahtsul Masail NU
Muktamar Ke-20 (1954)
278. Mengumumkan Awal Ramadan tanpa Menunggu Pengumuman Pemerintah
Pertanyaan: Bagaimana hukumnya mengumumkan awal Ramadhan atau Syawal kepada masyarakat dengan hisab atau orang yang mempercayainya sebelum ada penetapan hakim atau siaran dari Departemen Agama?
Jawaban: Sesungguhnya mengabarkan penetapan awal Ramadhan atau awal Syawal dengan hisab itu tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin.
Sedang pertama-tama orang yang membolehkan puasa dengan hisab ialah Imam Muththarif guru Imam Bukhari. Adapun mengumumkan tetapnya awal Ramadahan/Syawal berdasarkan hisab sebelum ada penetapan/siaran dari Departemen Agama, maka Muktamar memutuskan tidak boleh.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kericuhan dalam masyarakat. Muktamar mengharap kepada pemerintah supaya melarangnya.
Referensi
Bughyah al-Mustarsyidin, 108
(مَسْأَلَهُ كَ) لَا يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِّنَ الشُّهُورِ إِلَّا بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلَاثِيْنَ بِلَا فَارِقٍ إِلَّا فِي كَوْنِ دُخُولِهِ بِعَدْلٍ وَاحِدٍ
Bughyah al-Mustarsyidin, 110
(مَسْأَلَهُ ي ك) يَجُوزُ لِلْمُنْجِمِ وَهُوَ مَنْ يَرَى أَنَّ أَوَّلَ الشَّهْرِ طُلُوعُ النَّجْمِ الْفُلَانِي وَالْحَاسِبُ وَهُوَ مَنْ يَعْتَمِدُ مَنَازِلَ الْقَمَرِ وَتَقْدِيرَ سَيْرِهِ الْعَمَلُ بِمُقْتَضَى ذَلِكَ لَكِنْ لَا يُجْزِيهِمَا عَنْ رَمَضَانَ لَوْ ثَبَتَ كَوْنُهُ مِنْهُ بَلْ يَجُوزُ لَهُمَا الْإِقْدَامُ فَقَطْ … نَعَمْ إِنْ عَارَضَ الْحِسَابَ الرُّؤْيَةُ فَالْعَمَلُ عَلَيْهَا لَا عَلَيْهِ عَلَى كُلِّ قَوْلٍ
al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, II/81
وَحِينَئِذٍ يُسْتَفَادُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ الْعِبْرَةَ بِعَقِيدَةِ الْحَاكِمِ مُطْلَقًا فَمَتَى أَثْبَتَ الْهِلَالَ حَاكِمُ يَرَاهُ وَلَا يُنْقَضُ حُكْمُهُ بِأَنْ لَمْ يُخَالِفُ نَصًا صَرِيحًا لَا يَقْبَلُ التَّأْوِيلَ أَعْتُدَّ بِحُكْمِه
Munas Ulama NU di Situbondo (1983)
342. Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal
Penetapan Pemerintah tentang awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut Jumhur al- Salal bahwa tsubut awal Ramadhan dan awal Syawal itu hanya birru’yah au itmamil adadi tsalatsina yauman.
Referensi
Bughyatul Mustarsyidin, 108
لا يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ إِلَّا بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلَاثِيْنَ بِلا فَارِقٍ
Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur, 14
قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ الإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلَالِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعُ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلَافِهِ
Dengan demikian, NU memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, yang menunjukkan keberagaman dalam penafsiran dan praktik keagamaan di Indonesia.