Mengenal Kitab Al-Hikam: Kebahagiaan, Nasihat, dan Hikmah

  • Bagikan
Santri Posjos - Mengenal Kitab Al-Hikam. Dan Gratis Download Kitab Al-Hikam Terjemah Kitab Al-Hikam Bahasa Indonesia
Hashtag dan ilustrasi gambar Santri Posjos - Mengenal Kitab Al-Hikam. Dan Gratis Download Kitab Al-Hikam Terjemah Kitab Al-Hikam Bahasa Indonesia

SANTRI.POSJOS.COMMengenal Kitab Al-Hikam: Kebahagiaan, Nasihat, dan Hikmah – Pesantren salaf, dengan pendidikan non formal dan tradisi kajian kitab kuning, menjadikan kitab-kitab klasik, termasuk tasawuf, sebagai materi utama. Pesan kebahagiaan, nasihat, dan hikmah yang terkandung dalam Kitab Al-Hikam menjadi fokus perhatian, tidak hanya di pesantren tradisional, tapi juga di pesantren modern, seminar, dan webinar.

Sejarah Kitab Al-Hikam

Kitab Al-Hikam, sebuah karya tasawuf, ditulis oleh ulama besar Syaikh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari. Sebagai tokoh Thariqah Syadziliyah, pengaruhnya dalam NU, khususnya dalam Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyah, diakui oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Populeritas Kitab Al-Hikam

Selain dipelajari di pesantren salaf, kitab ini menjadi populer di kalangan umat Islam. Kata-kata mutiara dalam kitab sering disampaikan dalam majlis taklim dan pengajian, menciptakan puluhan karya yang menjelaskan dan mengomentari isi kitab ini.

Uniknya Kitab Al-Hikam

Berbeda dengan karya-karya Ibnu Atha’illah lainnya, seperti Lathaif al-Minan dan Miftah al-Falah, Kitab Al-Hikam ditulis secara sederhana tanpa dukungan ayat, hadits, atau argumentasi. Mungkin ditulis sebagai refleksi pengalaman spiritual penulis, kitab ini juga bisa menjadi bahan motivasi bagi pembacanya.

Berikut sekilas mengenai kitab Al-Hikam

مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافَقَاتِ وَتَرْكُ النَّدْمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ

“Di antara tanda matinya hati ialah tidak adanya rasa sedih atas hilangnya kesempatan untuk taat kepada Allah dan tidak adanya penyesalan atas perbuatan (lalai dan maksiat) yang telah anda lakukan…”

Apa hubungannya antara matinya hati dengan bahagia? Untuk bisa berbahagia seseorang perlu merasakan kesedihan di awalnya. Ibarat ingin mendapatkan gelar juara, seseorang harus berusaha menyisihkan kempetitornya. Mereka yang di awal sudah berleha-leha adalah pecundang sebenarnya.

Ibnu Athaillah semacam ingin memberikan peringatan kepada orang yang huhuhaha selalu berbahagia dan menganggap tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya. Padahal semakin hari ada saja disrupsi dalam setiap sisi hidupnya, sementara orang semacam ini mengentengkannya. Bisa saja ini pertanda kematian hatinya. Justru mereka yang sering menangis, simpati dan empati serta mudah tersentuh dengan keadaan sekitarnya adalah tergolong yang hidup hatinya. Orang inilah yang berhak berbahagia atas masa depannya.

Bukan berarti kita harus selalu pesimis dan menangis begitu saja. Kepada mereka yang banyak melakukan perbuatan dosa, Ibnu Athaillah menghibur agar tetap berbesar hati menjalaninya. Jangan terjebak dalam keadaan dan hanya bersedih diri saja. Seolah Ibnu Athaillah selalu menyemangati “Move on dan mohonlah ampunan kepada-Nya”. Dalam sebuah penggalan doa dipanjatkan:

اَللَّهُمَّ مَغْفِرَتُكَ اَوْسَعُ مِنْ ذُنُوْبِنَا وَالرَّجَا عِنْدَنَا

“Ya Allah, sungguh ampunan-Mu lebih luas dari pada dosa-dosa kita, dan Kami hanya bisa berharap saja”

Bala’ sebagai Bentuk Perhatian Allah Swt

Diturunkannya azab, bencana dan segala bentuk musibah tidak selalu kepada orang-orang yang berbuat dosa saja, melainkan menyeluruh ke semua orang yang telah dikehendaki-Nya. Misal corona atau HIV/AIDS lah sebagai contohnya. Tidak semua korbannya adalah para pelaku dosa, sehingga tidak ada alasan harus bersedih ketika diterpanya. Ibnu Athaillah berkata:

لِيُخَفِّفْ أَلَمَ الْبَلَاءِ عَنْكَ عِلْمُكَ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الْمُبْلِي لَكَ فَالَّذِيْ وَاجَهَتْكَ مِنْهُ الْأَقْدَارُ هُوَ الَّذِيْ عَوَّدَكَ حُسْنَ الْاِخْتِيَارِ

“Pedihnya ujian bisa diringankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah Swt. lah yang menurunkannya. Yang mendatangkan ujian-takdir kepadamu adalah Dia yang juga bisa menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik buatmu”.

Narasi semacam ini juga pernah disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Sosok sufi besar bergelar Kanjeng Syaikh (Sulṭān al-awliyā’) ini berpesan agar jangan pernah kita hanya menginginkan nikmat dan menolak bala. Bagaimanapun, menurutnya, nikmat atau dalam hal ini berbentuk rezeki akan sampai kepada manusia, baik ia mengusahakannya ataupun sebaliknya.

Sementara bala dan musibah adalah kepastian (ḥālah) yang akan menimpa, meski engkau membencinya. Maka, terimalah apa saja yang dikehendaki-Nya.

Datangnya bala dan musibah kepada manusia untuk menghancurkannya, melainkan untuk menguji seberapa besar keimanannya. Tidaklah seseorang suka diuji dan menikmatinya, kecuali orang yang paham betul siapa gerangan Dzat yang mengujinya. Ibarat anak sekolah, jika ia siap diuji maka ia akan berhasil menjalaninya. Dan jika sering menjalani ujian, maka ia juga lebih cepat naik ke kelas berikutnya.

Kuncinya, jika datang suatu nikmat, maka sibukkanlah dengan dzikir dan bersyukur, lantas, jika diuji dengan musibah maka sibukkan dengan bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah Swt. Selanjutnya, Ibnu Athaillah menegaskan:

مَتَى أَعْطَاكَ أَشْهَدَكَ بِرُّهُ وَمَتَى مَنَعَكَ أَشْهَدَكَ قَهْرَهُ فَهُوَ فِيْ كُلِّ ذَلِكَ مُتَعَرِّفٌ عَلَيْكَ وَمُقْبِلٌ بِوُجُوْدِ لُطْفِهِ عَلَيْكَ

“Ketika Allah memberimu, maka Dia sesungguhnya sedang memperlihatkan belas kasih-Nya kepadamu; dan ketika Dia menolak memberimu, maka Dia sedang menunjukkan kekuasaan-Nya kepadamu; dan di dalam semuanya itu, ia sesungguhnya hendak memperlihatkan diri kepadamu dan ingin menjumpaimu dengan kelembutan-Nya”.

Baca Juga:   Mengenal Kitab Al-Munqidz Minad Dhalal
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *